Gelombang kemarahan publik meledak di jantung Kota Surabaya. Aksi besar-besaran yang digerakkan oleh Aliansi Madura Indonesia (AMI) mengguncang simbol kekuasaan legislatif, menjadi puncak dari akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap dugaan runtuhnya moralitas para elite politik di DPRD Kota Surabaya.
Dipimpin langsung oleh Ketua AMI, Baihaki Akbar, S.E., S.H., sekitar 500 orang massa tumpah ruah melakukan demonstrasi di depan rumah dinas dan kantor DPRD Surabaya, Rabu pagi (30/7). Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan bentuk perlawanan publik atas dugaan skandal moral yang melibatkan Ketua DPRD Surabaya, Adi Sutarwijono, dan mantan Sekretaris DPC PDIP Surabaya, Achmad Hidayat.
Skandal Narkoba dan Dugaan Amoralitas
Awal mencuatnya kegelisahan publik bermula dari tersebarnya tangkapan layar percakapan pribadi yang diduga kuat milik Achmad Hidayat. Dalam pesan yang viral di berbagai platform media sosial tersebut, terdapat indikasi permintaan narkotika jenis ekstasi. Ironisnya, isu serius ini tidak ditanggapi secara tegas oleh Ketua DPRD, Adi Sutarwijono. Sebaliknya, ia terkesan diam seribu bahasa, menimbulkan kesan menutup-nutupi dan bahkan melindungi Achmad.
Kekecewaan publik tidak berhenti di situ. Dalam orasinya, Baihaki Akbar mengungkap dugaan keterlibatan langsung Adi Sutarwijono dalam perilaku menyimpang lain yang selama ini menjadi desas-desus internal DPRD.
“Kami mendapat laporan dari sumber kredibel, termasuk pihak hotel, bahwa Adi Sutarwijono diduga kerap check-in bersama perempuan muda, yang beberapa di antaranya diduga bukan istrinya, bahkan menyerupai anak di bawah umur,” ungkap Baihaki, yang langsung disambut gelombang kecaman massa aksi.
Tuntutan AMI: Copot dan Periksa Ketua DPRD Surabaya
Melalui aksi ini, AMI menyampaikan empat tuntutan utama:
1. Pencopotan Adi Sutarwijono dari jabatannya sebagai Ketua DPRD Surabaya, karena dianggap tidak layak secara moral dan etika memimpin lembaga perwakilan rakyat.
2. Pemeriksaan menyeluruh terhadap aktivitas pribadi Adi, khususnya terkait dugaan skandal hotel dan pelanggaran etika jabatan publik.
3. Proses hukum terhadap Achmad Hidayat, menyusul dugaan transaksi narkoba dalam chat yang telah beredar luas.
4. Pembentukan tim etik independen, baik dari internal DPRD maupun partai, untuk menyelidiki dugaan pembiaran, pelanggaran etika, serta potensi tindak pidana lainnya.
AMI juga menegaskan bahwa mereka telah melakukan klarifikasi langsung kepada Achmad Hidayat terkait pesan ekstasi tersebut. Namun, Achmad justru menunjukkan sikap acuh dan tidak menunjukkan penyesalan. Sementara itu, sikap bungkam Adi Sutarwijono dinilai semakin memperburuk krisis kepercayaan publik terhadap DPRD Surabaya.
“Bagaimana bisa seorang Ketua DPRD memilih diam atas kasus serius seperti ini? Kecuali jika ia sendiri juga terjerat dalam kubangan skandal yang sama,” ucap Baihaki lantang.
Ultimatum 7 Hari: Gelombang Aksi Jilid II Mengancam
Dalam pernyataan akhirnya, AMI memberikan tenggat waktu tujuh hari kepada pihak berwenang, baik DPRD maupun partai politik terkait, untuk mengambil langkah tegas. Jika dalam waktu tersebut tidak ada keputusan konkret, AMI mengancam akan meluncurkan gelombang aksi yang lebih besar dan akan membawa kasus ini ke tingkat nasional, dengan melaporkannya ke KPK, Komnas HAM, dan LPSK.
“Ini bukan hanya tentang Achmad Hidayat. Ini tentang institusi yang sudah mulai membusuk dari pucuk kepemimpinan. Jika Ketua DPRD tidak menjaga kehormatannya, maka rakyat sendiri yang akan merebut kembali kehormatan itu,” pungkas Baihaki, menutup orasi di tengah sorakan massa.
Aksi ini menjadi pengingat tajam bahwa dalam sistem demokrasi, jabatan publik bukanlah hak istimewa, melainkan amanah rakyat yang harus dijalankan dengan integritas dan akuntabilitas tinggi. Ketika amanah itu dikhianati, maka suara rakyat akan hadir untuk menuntut pertanggungjawaban.
( Red/ko)