**Probolinggo —**Suaragenerasibangsa,-Gelombang kritik terhadap Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kabupaten Probolinggo terus bermunculan. Kali ini, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Aliansi Madura Indonesia (AMI) Kabupaten Probolinggo secara tegas menyampaikan penolakan terhadap sejumlah tuntutan yang diajukan oleh BPD kepada pemerintah daerah dan DPRD setempat.
Pernyataan ini muncul menyusul aksi Persatuan Anggota BPD Seluruh Indonesia (PABPDSI) yang secara resmi menyerahkan dokumen aspirasi kepada DPRD Kabupaten Probolinggo pada Rabu (4/6/2025). Dalam dokumen tersebut, BPD meminta penambahan alokasi anggaran dan peningkatan tunjangan kinerja, yang langsung memantik berbagai respons dari publik dan organisasi kemasyarakatan.
DPC AMI menilai langkah BPD tersebut tidak mencerminkan semangat pengabdian dan fungsi pengawasan yang selama ini seharusnya dijalankan oleh lembaga desa tersebut.
> “Saya menilai saat ini fungsi BPD kurang efisien dalam menjalankan tugas sebagai pengawas. BPD kalau bekerja sesuai fungsinya sebagai pengawas, desa akan lebih maju. Begitu ada kesalahan dari pemerintah desa, BPD-lah yang berkewajiban mengoreksi. Bukan malah sibuk menuntut tambahan yang sudah diatur dalam regulasi,” ujar Dierel, perwakilan DPC AMI kepada media ini, Rabu.
Dierel menambahkan bahwa anggota BPD adalah representasi dari masyarakat desa dan dipilih melalui proses demokratis, sehingga mereka seharusnya mampu menunaikan tanggung jawab secara profesional. Ia juga mengkritisi kecenderungan sejumlah anggota BPD yang dinilai lebih sibuk memperjuangkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan masyarakat luas.
> “Kalau memang tidak mampu mengemban amanah masyarakat, mundur saja. Tidak usah banyak tingkah,” tegasnya.
Dalam dokumen aspirasi yang diserahkan oleh PABPDSI kepada DPRD, terdapat beberapa poin krusial yang menjadi sorotan, antara lain:
1. Perubahan pagu Alokasi Dana Desa (ADD) minimal 15%-25% mulai Tahun Anggaran 2026.
2. Revisi Peraturan Bupati Nomor 1 Tahun 2025 agar mencantumkan biaya operasional BPD minimal 25% dari biaya operasional pemerintahan desa.
3. Penetapan tunjangan kinerja BPD minimal 10% dari Pendapatan Asli Desa (PAD).
4. Alokasi dana pengembangan kapasitas BPD minimal Rp500.000 per orang per tahun.
5. Pengesahan lembaga BPD melalui SK Camat.
6. Audit kinerja bersama antara pemerintah desa dan BPD oleh Inspektorat Daerah.
7. Monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan APBDes serta pengawasan terhadap kinerja kepala desa.
8. Penanganan layanan pengaduan masyarakat secara cepat dan tuntas.
9. Bimbingan teknis penyusunan Perdes tentang layanan informasi publik dan publikasi ke JDIH.
10. Pengawasan DPRD terhadap kinerja Pemkab dalam tata kelola desa.
Tidak hanya DPC AMI, sejumlah kalangan jurnalis pun menyampaikan kekecewaan, menyusul pernyataan dari seorang oknum BPD yang menyebut istilah “wartawan Bodrex yang datang meminta uang ketika ada pembangunan desa”. Istilah ini dianggap merendahkan profesi jurnalistik dan menambah panjang daftar kontroversi yang melekat pada citra BPD di mata publik.
“Pernyataan itu sangat tidak etis. BPD seharusnya bekerja sama dengan media sebagai sarana penyampaian informasi publik, bukan malah merendahkan,” ujar salah satu jurnalis lokal yang enggan disebut namanya.
Melihat eskalasi tuntutan yang diajukan serta sikap yang dinilai tidak mencerminkan semangat pelayanan publik, DPC AMI mendesak pemerintah daerah dan DPRD untuk bersikap bijak. Mereka meminta agar tuntutan BPD tidak serta-merta dikabulkan tanpa kajian dan evaluasi menyeluruh.
> “Kami mendukung penguatan BPD, tapi bukan dengan cara-cara seperti ini. Pemerintah dan DPRD harus bijak agar kebijakan tetap berpihak kepada rakyat,” kata Dierel.
Ia juga menyerukan adanya evaluasi total terhadap kinerja BPD di seluruh desa Kabupaten Probolinggo. Menurutnya, perlu ada indikator keberhasilan yang jelas dalam menjalankan fungsi pengawasan, legislasi desa, dan penyampaian aspirasi masyarakat.
> “BPD seharusnya menjadi jembatan antara warga dan kepala desa. Jika malah menjadi sumber konflik dan polemik, maka fungsinya patut dipertanyakan,” pungkasnya.
Dengan kontroversi ini, tampaknya masa depan BPD di Kabupaten Probolinggo akan menjadi sorotan, terutama terkait profesionalisme, integritas, dan kontribusinya terhadap pembangunan desa yang inklusif dan partisipatif.