Suaragenerasibangsa.com ✓ Probolinggo,– Fenomena maraknya tempat karaoke di sepanjang perbatasan Kota Probolinggo bukan lagi sekadar isu sepele. Deretan bangunan karaoke dengan label LC (Lady Companion) tumbuh bak jamur di musim hujan, khususnya di sekitar 500 meter utara perempatan lampu merah Lawean. Pemandangan ini mengundang pertanyaan besar: apakah pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) benar-benar tidak melihat, atau sengaja menutup mata?
Sudah bertahun-tahun karaoke-karaoke tersebut beroperasi tanpa ada penindakan masif dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) maupun aparat kepolisian. Alih-alih ditertibkan, keberadaannya justru semakin menjamur. Bagi masyarakat sekitar, kondisi ini seolah menunjukkan bahwa aktivitas hiburan yang sarat praktik prostitusi terselubung itu telah mendapat “restu” secara tidak langsung.
DPD LSM Pemerhati Rakyat Indonesia (PRI) pun angkat suara. “Satpol PP punya kewenangan penuh untuk menindak, tapi apa yang kita lihat? Diam. Tidak ada langkah nyata. Ini jelas mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah,” tegas Candra DC, perwakilan LSM PRI, dengan nada penuh kekecewaan.
Fenomena karaoke bukan hanya soal lampu neon, musik bising, atau tarian malam. Di baliknya, ada cerita pilu dari banyak keluarga. Candra menuturkan, pihaknya menerima aduan dari para ibu rumah tangga yang merasa ditinggalkan suami mereka. “Ada yang berangkat kerja pagi, tapi pulang dini hari karena singgah di karaoke. Ini bukan sekadar hiburan, ini sudah merusak fondasi keluarga,” ungkapnya.
Lebih ironis lagi, data yang dihimpun menunjukkan tingginya angka perceraian di Kabupaten dan Kota Probolinggo. Candra menegaskan, “98 persen perceraian di wilayah ini dipicu keberadaan tempat karaoke. Kalau rumah tangga rusak, anak-anak kehilangan teladan, lalu generasi seperti apa yang akan lahir?”
Generasi muda yang seharusnya disuguhi teladan positif justru dipaksa menyaksikan bagaimana moral masyarakat dikikis perlahan. Tidak sedikit remaja yang kemudian ikut terjerumus, entah sebagai pengunjung muda atau bahkan pekerja hiburan. “Kalau sejak dini generasi penerus kita hidup dalam atmosfer seperti ini, apakah mereka tidak akan bernasib sama dengan negara-negara yang mengalami dekadensi moral seperti di Eropa atau China? Kita harus sadar, ini bukan jalan yang benar,” tambah Candra.
Ada anggapan bahwa karaoke menyumbang perputaran ekonomi. Namun, ekonomi macam apa yang dibangun? Uang yang berputar di meja karaoke tidak kembali ke masyarakat kecil, melainkan hanya mengalir ke kantong pengusaha hiburan. Di sisi lain, kerugian sosial jauh lebih besar.
Suami yang menghabiskan penghasilan di karaoke berarti mengurangi nafkah keluarga. Anak-anak kehilangan hak pendidikan layak karena uang habis untuk foya-foya. “Jika dihitung, kerugian ekonomi dari keluarga yang rusak akibat karaoke lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh pengusaha hiburan. Jadi, ini jelas bom waktu,” jelas Candra.
Selain itu, muncul kecurigaan adanya pungutan liar atau setoran “keamanan” agar bisnis ini terus berjalan mulus. Jika benar, maka masyarakat bukan hanya dirugikan secara moral, tetapi juga menjadi korban dari sistem yang membiarkan praktik kotor tumbuh subur.
Kehancuran bangsa tidak selalu diawali perang atau bencana. Sering kali, runtuhnya moral menjadi awal keruntuhan yang lebih dahsyat. “Karaoke-karaoke ini bukan sekadar hiburan malam, ini simbol hancurnya moral bangsa jika dibiarkan. Generasi muda akan belajar bahwa kesenangan sesaat lebih penting daripada tanggung jawab. Lalu, siapa yang bisa disalahkan kalau 10 tahun lagi bangsa ini kehilangan arah?” papar Candra.
Masyarakat pun semakin resah. Mereka melihat aparat yang seharusnya menindak justru pasif. Diamnya aparat seolah mengirim pesan bahwa moral dan nasib generasi penerus tidak penting dibanding keuntungan bisnis hiburan.
Candra DC bersama LSM PRI dan sejumlah tokoh masyarakat menegaskan sikapnya. “Kami tidak sekadar prihatin, kami marah! Jika aparat dan pemerintah tidak segera menutup tempat karaoke ini, maka jelas ada pembiaran. Dan pembiaran adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat,” ujarnya dengan lantang.
Masyarakat mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk berhenti bermain-main dengan isu ini. Penertiban setengah hati tidak lagi cukup. Yang dibutuhkan adalah langkah tegas: penutupan total tempat karaoke di batas kota Probolinggo.
“Kalau pemerintah diam, rakyat akan menilai ada kepentingan tersembunyi di balik bisnis hiburan ini. Kami menolak keras, kami menuntut penutupan segera. Jangan sampai Probolinggo tercatat sebagai daerah yang membiarkan moral bangsanya hancur demi bisnis gelap,” tutup Candra dengan nada keras.
Has-
Tags
Berita Probolinggo