Suaragenerasibangsa.com ✓ Gresik –
Sebuah papan proyek berdiri tegak di atas tanah kapur Desa Bolo, Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik. Di sana tertulis dengan gagah, “Pembangunan Gedung Serba Guna”, Dana Bantuan Khusus (BK) Kabupaten Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp 95 juta, dengan volume L=20 meter dan P=50 meter. Pelaksana tertulis TPK Desa Bolo.
Sekilas tampak membanggakan, namun angka di papan tersebut justru memicu gelombang tanya dari warga dan pemerhati anggaran. Pasalnya, jika mengacu pada Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) Kabupaten Gresik 2025, biaya wajar pembangunan gedung sederhana berkisar Rp 3,5 – Rp 4 juta/m².
Luas bangunan sesuai papan = 20 m × 50 m = 1.000 m²
Biaya wajar = 1.000 m² × Rp 3.500.000 = Rp 3,5 miliar
Dengan logika sederhana, membangun gedung 1.000 m² hanya bermodal Rp 95 juta berarti hanya Rp 95 ribu per meter persegi — lebih murah dari harga kain tenda hajatan.
“Kalau benar Rp 95 juta bisa bikin gedung 1.000 meter, besok saya mau pesan tiga, sekalian buat rumah anak-anak saya. Murah meriah, serba guna, serba ngaco!” sindir Pak Rahman, warga setempat, sambil geleng-geleng kepala.
Dalam dunia konstruksi, biaya Rp 95 ribu/m² nyaris mustahil menghasilkan struktur layak fungsi. Hanya untuk pondasi standar batu kali saja, dengan kedalaman dan lebar sesuai teknis, biayanya bisa mencapai Rp 500–700 ribu/m². Itu belum termasuk sloof, kolom, rangka atap, dinding, lantai, instalasi listrik, dan finishing.
Kalau dihitung kasar, Rp 95 juta itu bahkan belum cukup untuk menutup biaya atap seng plus rangka baja ringan untuk luas 1.000 m².
Awak media mencoba menggali penjelasan ke Balai Desa Bolo. Di sana, hanya ditemui Kasi Pelayanan, yang mengaku tidak tahu detail pembangunan. Saat ditanya pondasi gedung dibangun dari dana apa dan tahun berapa, jawabannya nihil.
Ini mengundang pertanyaan serius: Mengapa pihak desa menugaskan aparat yang tidak berkompeten untuk memberi keterangan resmi? Bukankah proyek publik semestinya transparan dan dapat dipertanggungjawabkan?
Ketertutupan informasi seperti ini berpotensi melanggar UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dana BK Kabupaten adalah uang rakyat, dan penggunaannya wajib dibuka secara jelas.
Yang lebih mengkhawatirkan, adanya ketidakjelasan asal pondasi bisa mengarah pada dugaan bahwa proyek ini hanya “memanfaatkan pondasi lama” atau bahkan “hanya sebatas perbaikan ringan” namun diklaim sebagai pembangunan gedung baru.
LSM, pemerhati anggaran, dan warga mendesak agar Inspektorat Kabupaten Gresik, BPK, dan aparat penegak hukum turun langsung. Audit teknis dan audit anggaran harus dilakukan, termasuk menelusuri apakah volume dan spesifikasi di papan sesuai realisasi lapangan.
Jika terbukti ada rekayasa, maka ini bukan hanya masalah etika publik, tapi masuk ranah hukum: mulai dari mark-up, misleading project scope, hingga dugaan penyelewengan anggaran.
Tags
Berita Gresik