Karya Suara Generasi Bangsa: Ketika Aku Tak Dianggap Ada, Dan Saat Mereka Datang Menumpang Bahagia


Suaragenerasibangsa.com,-Keterpurukan ekonomi seringkali bukan hanya soal angka di rekening atau lembar rupiah yang tak cukup untuk bertahan hidup. Ia adalah luka yang tak terlihat, perih yang mengendap di dasar hati. Aku tahu rasanya. Pernah berada di titik nol bahkan mungkin di bawahnya. Saat aku hanya ditemani kesunyian dan rasa ditinggalkan, saat aku bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar tak berarti?”

Aku terlahir dari keluarga yang berkecukupan, namun semua hanya di mata pulik. Hidup di kelilingi keluarga namun aku hanyalah dianggap sebagai kebutuhan mereka. Tapi yang paling menyakitkan bukanlah kemiskinan itu sendiri, melainkan saat aku mulai kehilangan tempat untuk bersandar. Teman yang dulu tertawa bersamaku, keluarga yang katanya darah daging, satu per satu perlahan menjauh, menghilang, bahkan menganggap aku tak pernah ada. Seolah-olah keterpurukanku adalah penyakit menular yang harus mereka hindari.

Namun, justru di sanalah aku belajar. Aku dipaksa untuk mengenali diriku sendiri. Tidak ada yang bisa kuandalkan selain tekad dan sisa-sisa semangat yang nyaris padam. Aku belajar bertahan tanpa pujian, tanpa pelukan dukungan, bahkan tanpa sekadar sapaan. Dunia terasa sunyi, tapi kesunyian itu justru menjadi ruang bagi keberanian untuk tumbuh.

Membakar Semangat dari Abu Keterpurukan

Kondisi ekonomi memaksaku untuk berpikir lebih keras, bergerak lebih cepat, dan berani mengambil risiko. Aku bekerja apapun yang bisa kulakukan—berjualan kecil-kecilan, menjadi tenaga lepas, bahkan terkadang melakukan pekerjaan yang orang anggap remeh. Tapi bagiku, tak ada pekerjaan yang hina jika dilakukan dengan niat yang tulus.

Setiap langkah yang kuambil adalah batu loncatan, sekecil apapun. Aku mencatat semua kegagalan, bukan untuk disesali, tapi untuk jadi pijakan berikutnya. Semangat itu muncul bukan dari motivasi indah yang kutonton di media sosial, tapi dari kenyataan bahwa kalau aku berhenti, tak akan ada yang datang menyelamatkan.

Sampai akhirnya, sedikit demi sedikit keadaan mulai membaik. Usaha kecilku mulai dikenal. Proyek-proyek freelance mulai berdatangan. Aku bisa membiayai hidupku sendiri tanpa bergantung pada siapapun. Dari yang tak dianggap, aku mulai terlihat. Dan seperti cerita lama yang sering kita dengar: saat sinar mulai muncul, bayangan-bayangan dari masa lalu pun berdatangan kembali.

Ketika Semua Mengaku Berperan dalam Kesuksesanku

Lucu rasanya, saat dulu tak seorang pun yang peduli, kini banyak yang mengaku sebagai bagian dari perjuanganku. Beberapa keluarga mulai menyapa dengan manis, membawa kenangan lama sebagai jembatan mendekatiku kembali. Ada yang datang dengan cerita “dulu aku yang selalu dukung kamu” padahal aku tahu betul, namaku pun tak disebut saat aku jatuh.

Lebih dari itu, ada pula yang mulai ikut menumpang kebahagiaan. Mereka datang dengan permintaan pinjaman, ajakan bersenang-senang, bahkan tanpa ragu menawarkan “investasi” dadakan yang tak masuk akal. Seolah-olah karena aku telah “naik kelas”, maka aku wajib membagi hasilnya kepada mereka, yang bahkan tak pernah ikut berjuang di medan luka.

Aku sempat terlena. Aku mulai percaya bahwa ini mungkin jalan Tuhan agar aku kembali dekat dengan keluarga. Tapi ternyata, kemunafikan itu tak butuh waktu lama untuk memperlihatkan wajah aslinya.

Saat Aku Jatuh Lagi, Wajah Asli Itu Muncul

Tak selamanya rejeki berada di puncak. Kehidupan kadang berputar tak terduga. Aku kembali mengalami masa sulit. Ekonomi kembali goyah, usaha tertimpa badai, dan tabungan mulai terkikis. Saat itulah aku melihat siapa yang benar-benar peduli.

Orang-orang yang dulu datang menumpang tawa, mulai menghindar. Yang dulunya berkata “kita keluarga, kita harus saling bantu”, tiba-tiba tak bisa dihubungi. Bahkan ada yang terang-terangan berkata, “Itulah akibat terlalu sok kaya.”

Mereka lupa bahwa aku tak pernah meminta lebih. Yang kubutuhkan hanya ketulusan, bukan kemewahan. Yang kuharapkan hanya pengakuan bahwa aku tetap berarti, dalam kondisi apapun. Tapi nyatanya, dunia ini terlalu sering mengukur nilai seseorang dari apa yang dia punya, bukan dari siapa dia sebenarnya.

Aku Tidak Dendam, Tapi Aku Belajar

Dari semua itu, aku belajar banyak hal. Pertama, bahwa kesendirian bukanlah kutukan. Justru ia adalah jalan untuk benar-benar mengenal siapa diriku dan apa yang mampu kulakukan. Kedua, bahwa keluarga tidak selalu berarti darah. Keluarga bisa jadi adalah mereka yang tetap tinggal, bahkan ketika semua orang pergi.

Aku juga belajar bahwa dalam hidup, kita tak bisa memaksa orang untuk mengerti perjuangan kita. Mereka akan datang dan pergi sesuai kepentingannya. Dan itu bukan salah kita. Yang penting, kita tahu jalan mana yang kita pilih, dan tetap teguh berjalan meski hanya berteman peluh.

Hari Ini, Aku Kembali Berdiri

Kini, aku tak lagi mengharapkan tepuk tangan. Aku tak butuh validasi dari siapapun untuk merasa cukup. Kesuksesan bagiku bukan hanya soal materi, tapi tentang bisa berdiri tegak bahkan saat dunia meremehkan. Tentang bisa tidur tenang meski tak banyak yang memuji. Tentang bisa berkata pada diri sendiri: “Aku bangga padamu, karena kamu tak pernah menyerah.”

Aku menulis ini bukan untuk membuka luka lama, tapi untuk mereka yang mungkin sedang berada di titik yang sama. Untuk kamu yang sedang berjuang sendiri, dikhianati, ditinggalkan, dianggap tak berguna—aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendiri. Dan kamu mampu melewati semuanya.

Jika saat ini kamu sedang terpuruk, jangan takut. Karena dari keterpurukanlah semangat sejati lahir. Karena dari kehampaanlah muncul keberanian yang tak pernah kita sangka ada dalam diri kita. Dan percayalah, ketika kamu akhirnya berhasil, kamu tak akan butuh pengakuan siapa-siapa. Cukup dirimu sendiri yang tahu: kamu pantas mendapatkan semua itu.

Penutup: Untuk Diriku dan Kamu yang Masih Berjuang

Hidup tidak selalu adil. Tapi hidup selalu memberikan ruang bagi mereka yang mau bertahan dan terus berjalan. Jangan terlalu sibuk membuktikan kepada mereka yang meremehkanmu. Fokuslah membuktikan kepada dirimu sendiri bahwa kamu bisa.

Dan ketika suatu saat mereka datang lagi—entah dengan pujian palsu atau ajakan berfoya-foya—kamu akan tahu bagaimana bersikap. Bukan dengan dendam, tapi dengan bijak. Karena orang yang pernah hidup dalam keterpurukan tahu betapa berharganya ketulusan. Dan ia tak akan membiarkan dirinya dikelilingi kepalsuan lagi.

Tetap kuat. Tetap berjalan. Jangan biarkan masa lalu yang menyakitkan membuatmu kehilangan arah. Sebab, seperti yang telah aku buktikan, dari tanah yang paling tandus pun bisa tumbuh pohon yang paling kokoh.


Penulis: Pitric Ferdianto 
Cerita fiksi

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama

Terkini